Tuesday, November 18, 2008

Awas, Begadang Rutin Beresiko Kanker - Musik Baik untuk Jantung - Agar Obesitas Tak Mampir

Awas, Begadang Rutin Beresiko Kanker

TEMPO Interaktif , Maryland: Begadang jangan begadang, tentunya ingat syair lagu Bang Haji Rhoma Irama yang mengingatkan untuk tidur yang cukup. Sudah pasti bahwa tidur menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi tubuh. Pasalnya, kurang tidur ternyata bisa meningkatkan resiko kanker.

Dalam penelitian terakhir yang melibatkan 5,968 wanita di Maryland menemukan bukti bahwa mereka yang aktifitas fisiknya membuat tidur berkurang akan meningkatkan resiko terkena kanker. Penelitian itu menemukan bahwa wanita berusia 18-65 tahun, yang aktifitasnya meningkat dalam sepekan, dan waktu tidurnya berkurang mempunyai resiko kanker lebih tinggi.

Tidur malam kurang dari tujuh jam, dalam penelitian itu, akan meningkatkan 47 persen lebih tinggi beresiko kanker daripada yang tidur lebih dari itu. Penelitian ini dilaporkan dalam pertemuan Asosiasi Amerika untuk peneliti Kanker.

“Kami pikir cukup menarik untuk disebarluaskan,” ujar James McClain dari Institut Kanker Nasional, sebuah badan kesehatan yang menjadi bagian institut pemerintah.

McClain yang memimpin penelitian ini, mengatakan bahwa sebenarnya tidak secara langsung hubungan dengan kebiasaan tidur yang kurang membuat seseorang terkena kanker. “Sebenarnya mendapatkan tidur yang cukup akan mencapai tubuh yang sehat,” ujar McClain.

Pusat kontrol dan antisipasi penyakit Amerika telah menyebutkan bahwa tidur yang kurang akan mengganggu kesehatan. Badan ini telah melansir penelitan mereka, yang menyebutkan bahwa orang dewasa yang mengalami tidur kurang dari enam jam meningkat dari tahun 1985 sampai 2006.

Ahli lainnyanya menyatakan bahwa kurang tidur berpengaruh dengan obesitas, diabetes, tekanan darah tinggi, stroke, penyakit jantung, dan depresi. Hal ini akan diperparah apabila orang tersebut juga merokok dan minum minuman beralkohol.

Sebagai tambahan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa berolahraga rutin akan menurunkan resiko kanker payudara, kanker rahim dan jenis kanker lainnya. Para ahli ini mengatakan bahwa olahraga yang rutin akan berpengaruh pada kadar hormon tubuh, fungsi imunitas dan berat badan.

Tunggu apalagi, rutinlah lari pagi dan jangan begadang, seperti kata Bang Haji Rhoma Irama. Healthday Reuters Nur Haryanto

Sumber : Koran Tempo, 18 November 2008


Musik Baik untuk Jantung

TEMPO Interaktif, Jakarta: Bila ingin memiliki jantung sehat, ada cara sangat sederhana yang bisa Anda lakukan kapan pun? Cukup mendengarkan musik yang paling Anda gemari. Ini bukan saran asal-asalan, tapi telah terbukti oleh sebuah penelitian di Amerika Serikat. Menikmati musik favorit pun sejajar dengan tertawa dan obat statin dalam soal melancarkan peredaran darah.

Adalah Michael Miller dan timnya yang terus menggali aksi sehari-hari yang bermanfaat untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah. Pada 2005, ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Maryland, Baltimore, itu mencari tahu pengaruh tertawa terhadap kondisi jantung. Hasilnya, tertawa memang membantu menyehatkan organ tubuh utama tersebut. "Kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, hal lain apa yang bisa membuat kita merasa senang di luar makanan berkalori seperti cokelat. Kemudian musiklah yang terpikirkan dan ternyata hal inilah yang memicu hadirnya perasaan senang dan nyaman," ia menuturkan.

"Idenya ketika seseorang mendengar musik dia akan sangat menikmatinya dan juga mendapat dorongan emosional yang lebih tinggi," kata Miller. Lantas kemarin, di hadapan peserta pertemuan Asosiasi Jantung Amerika di New Orleans, ia memaparkan hasil temuannya ini. Miller bahkan sempat melontarkan keterkejutannya karena adanya perbedaan signifikan antara diatemer pembuluh darah pada partisipan sebelum dan sesudah mendengar musik. Ia memaparkan respons 10 orang sehat dan tidak merokok dalam studi ini sama dengan hasil studi tertawa tiga tahun lalu.

Peneliti menilai, setelah mendengar musik favorit, partisipan langsung merasa senang dan kondisi ini memicu pelebaran pembuluh darah bahkan pada jaringan paling dalam sehingga aliran darah meningkat. Untuk meminimalkan penurunan sensitivitas emosi terhadap musik favorit, partisipan diperintahkan untuk tidak menikmati musik sedikitnya dua minggu sebelum pengujian. Saat studi, partisipan selama 30 menit mendengar musik kegemarannya dan 30 menit mendengarkan musik yang tidak disukai.

Dibanding ukuran normal, ketika menikmati musik yang digemari diatemer pembuluh darah partisipan meningkat 26 persen, sedangkan saat mendengar musik yang tidak disukai justru terjadi penyempitan hingga 6 persen. Jenis musik yang tak digemari kebanyakan tembang dari grup musik heavy metal. Lantunan "keras" rupanya memicu rasa tidak nyaman pada pendengar yang tak gandrung jenis musik tersebut. Untuk musik yang digemari yang membuahkan rasa senang, kebanyakan responden memilih jenis musik country, tapi Miller menyebutkan jenis musik tak menjadi patokan. Ia menegaskan yang penting lagu itu bisa membuat senang masing-masing individu. Ia menambahkan, pengaruh fisiologis musik kemungkinan besar hingga pada kimiawi otak untuk rasa senang, yakni endorfin.

Lancarnya peredaran darah juga menurunkan risiko penyumbatan. Miller menjelaskan, ketika pembuluh darah lebih terbuka, aliran darah lebih lancar dan lebih kecil kemungkinan terjadi pembekuan darah yang bisa memicu terjadi penyumbatan dan berakhir pada serangan jantung dan stroke. Selain itu, pembuluh darah yang lebih elastis membuat semakin rendah kejadian penyumbatan tersebut.

Pelebaran pembuluh darah dalam studi tersebut, dikatakan Miller, hasilnya serupa dengan yang diraih seseorang setelah berlatih kebugaran. Bahkan serupa dengan efek obat-obatan, seperti statin dan ACE inhibitors. Hasil studi ini, menurut dia, membuka pilihan atas langkah-langkah pencegahan lain untuk penyakit jantung dan stroke dengan pengaruh yang "hebat" ini, tapi tidak menyarankan untuk menghentikan penggunaan obat-obatan medis maupun kegiatan olahraga. "Langkah ini menjadi sebuah tambahan," ia menegaskan. Rita AFP ABOUT.COM YAHOONEWS

Sumber : Koran Tempo, 13 November 2008


Agar Obesitas Tak Mampir

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ada benarnya falsafah bangsa Arab soal pola makan. Warga gurun pasir itu, dalam kehidupan sehari-hari, memiliki prinsip: saat pagi sarapanlah seperti raja, lalu ketika siang makanlah layaknya pangeran, sedangkan pada malam makanlah tak ubahnya pengemis. Pada orang yang disiplin dengan pola makan seperti itu, ia menutup ruang untuk terjerumus dalam kebiasaan mengemil dan pola makan tidak secara berlebihan.

Masalahnya, gaya hidup saat ini kerap kali membuat orang tidak bisa konsisten dengan sebuah pola. Bahkan meminggirkan pola makan sehat. Dari orang tua, kebiasaan itu menurun kepada anak-anaknya. Sebuah survei di Inggris beberapa waktu lalu menyebutkan orang tua menjadi pihak yang selalu disalahkan untuk pola makan buruk anak-anak sekarang karena merekalah yang dinilai paling bertanggung jawab.

Meski responden menetapkan tugas terbesar (88 persen) ada di pundak orang tua, ternyata pola makan anak juga dipengaruhi oleh sekolah, industri makanan, dan media. Karena ketika anak-anak ditanya jenis hidangan apa yang mereka suka, biasanya akan bergantung pada tayangan komersial di televisi. Apalagi bila produk makanan itu memunculkan bintang anak-anak atau menawarkan hadiah, mereka langsung akan menjadi penggemarnya.

Hal serupa terjadi di negeri ini. Lihat saja kebiasaan Farhan, 6,5 tahun. Setiap minggu, ia mengajak ibunya ke restoran cepat saji. "Aku mau hadiahnya," ujarnya. Sang bunda heran, dari mana si bocah tahu ada sederet hadiah jika membeli paket makanan di restoran tersebut. "Aku tahu dari TV," jawabannya simpel. Karena pemicu seperti itulah Ganesja Harimutri, spesialis jantung anak dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, menyimpulkan bahwa anak-anak kini begitu menggandrungi junk food. "Makanan ringan berkalori dan berkadar garam tinggi banyak dikonsumsi anak-anak sekarang," katanya. Tak cuma itu, mereka doyan mengemil biskuit, es krim, dan permen yang berkadar gula tinggi.

Pola pikir praktis orang tua yang tidak mau repot memasak menjadi alasan lain kebiasaan buruk pada anak. Belum lagi minimnya rutinitas kegiatan fisik, yang membuat penimbunan lemak tubuh berlebih dan berpotensi obesitas. Dokter spesialis anak Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Tinuk Agung Meilany, pada 2002 meneliti prevalensi obesitas anak di tiga sekolah dasar swasta di Jakarta Timur. Hasilnya, angka kejadian obesitas sebesar 27,5 persen. Teorinya, remaja yang punya berat badan berlebih berpotensi besar mengalami obesitas.

Menurut ahli gizi Rumah Sakit Melinda, Bandung, Johanes Chandrawinata, bila pada usia sekolah dasar sudah mengalami kegemukan di atas persentil grafik Kartu Menuju Sehat (KMS) anak, potensi obesitas ketika dewasa sangat besar. "Kelebihan asupan kalori akan membuat sel lemak bertambah dan berkembang," ujarnya. Karena itu, hipotesis Johanes: hampir selalu anak berbadan gemuk berlebih tetap konsisten bentuknya seperti itu hingga mereka dewasa.

Karena itu, Johannes mengatakan langkah yang paling efektif untuk mencegah obesitas pada anak adalah pengawasan orang tua. Orang tua diharapkan selalu memperhatikan pola makan anak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makanan, sehingga obesitas tidak terjadi pada anak mereka. Namun, tetap diingat, di samping pola makan dan gaya hidup, alasan genetika tentunya mempengaruhi perkembangan obesitas. Anak yang orang tuanya obesitas ada kemungkinan mengalami obesitas 10 kali lipat dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua dengan berat badan normal.

Adapun obesitas pada anak bisa mengakibatkan sejumlah penyakit menahun, yakni gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, diabetes tipe 2 pada remaja, hipertensi, dislipidemia, atau berbagai gangguan pada hati, saluran cerna, bahkan tidur. Heru Triyono Berbagai Sumber

Sumber : Koran Tempo, 12 November 2008