Wednesday, November 19, 2008

Lupus, Tetap Boleh hamil - Pertolongan Pertama pada Stroke - Cerdas Bergulat Mengelola Stres

Lupus, Tetap Boleh hamil

TEMPO Interaktif, Jakarta: Penyakit lupus, berasal dari bahasa Latin yang berarti srigala, seringkali ditandai dengan timbulnya bercak kemerahan (ruam) pada kedua pipi yang sepintas mirip gigitan srigala. Namun dalam perkembangan selanjutnya, lupus bisa menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh.

Lupus dikenal sebagai penyakit otoimun, yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang bereaksi secara berlebihan. Bisa dibayangkan, antibodi yang seharusnya melindungi tubuh dari serangan penyakit justru menyerang tubuh itu sendiri.

Penyakit ini, bisa menyerang wanita maupun pria. Namun, hampir 90 persen penderitanya adalah wanita. Tak heran, kalau dulu, wanita penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ini, selalu disarankan untuk tak melahirkan anak. Begitu pun ketika mereka hamil, acapkali mesti menjalani aborsi untuk mencegah munculnya lupus pada si bayi.

Namun, beda dengan kini. Riset yang dilakukan oleh para ahli rheumatologis di Hospital for Special Surgery di New York, membuktikan hal baru. Ternyata, pasien penderita lupus didapati sukses melewati proses kehamilan yang aman dan sehat tak seperti anggapan masa lalu.

Penelitian ini diprakarsai oleh Jane Salmon, MD, dengan melibatkan para ahli di Hospital of Special Surgery yang tergabung dalam PROMISSE (Predictors of pRegnancy Outcomes: bioMarkers in antiphospholid entibody Syndrome and Systemic lupus Erythematous). Hasil penelitian tersebut dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Rheumatology, di San Francisco, 24-29 Oktober 2008. Para ahli mencoba mengidentifikasi sejumlah faktor dengan tujuan membantu para wanita juga dokter untuk merencanakan proses kehamilan yang lebih sehat.

Sesungguhnya, pasien penderita lupus bisa bertahan atau terbebas dari penyakitnya untuk jangka waktu panjang. Sejauh gejala penyakitnya seperti bercak merah pada hidung dan pipi, rasa nyeri atau bengkak di persendian, bengkak di kaki, juga kelelahan (fatique) yang bisa muncul tiba-tiba, sebisa mungkin dihindari dan ditekan frekuensi ke munculannya.

Penelitian yang juga diketuai oleh Dr Salmon, mencoba memantau 198 wanita hamil yang mengidap lupus. Penelitian itu menemukan bahwa wanita yang menjaga penyakitnya dengan stabil didapati relatif jarang muncul/kambuh selama kehamilan. Bahkan, tidak menurun pada bayi yang dilahirkannya.

Gangguan pada ginjal yang umum terjadi sebagai konsekuensi dari penyakit lupus ini juga tak ditemui.

Penemuan ini setidaknya memberi masukan pada para wanita penderita lupus bahwa penanganan yang tepat sesungguhnya bisa menekan risiko atau kemungkinan buruk di saat kehamilan.

Penelitian tahap kedua yang dipresentasikan oleh Dr Salmon pun menunjukkan ketika ditemukan adanya kelainan spesifik pada otoantibodi, hal ini ditengarai berkaitan erat dengan kemungkinan kegagalan kehamilan. Yang menyolok adalah, peneliti menemukan para wanita yang positif memiliki otoantibodi yang disebut lupus anticoagulant lebih mudah terkena komplikasi yang disebut miscarriage atau preeclampsia selama kehamilan.

Maka, hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu para dokter dalam mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko komplikasi yang tinggi, dengan cara menguji lewat tes darah untuk mendapatkan hasil apakah pasien tersebut positif atau negatif memiliki anticoagulant autoantibody. Dan kalau ternyata terbukti positif, maka masih terbilang aman untuk menjalani kehamilan yang sehat. Namun yang terpenting, dokter pun harus memonitor secara ketat untuk melihat sedini mungkin peluang terjadinya komplikasi kehamilan.

Jadi, kalau beberapa tahun lalu wanita penderita lupus tak disarankan untuk hamil, dengan temuan yang dirilis oleh PROMISSE ini mereka tak usah berkecil hati lagi. Kehamilan normal bisa dijalani, asalkan tetap dipantau dan didampingi oleh dokter.
Mira Larasati

Sumber : Koran Tempo, 06 November 2008


Pertolongan Pertama pada Stroke

TEMPO Interaktif, Jakarta: Abdurahman, 43 tahun, pernah punya kebiasaan menyiapkan jarum di dekat tempat tidurnya. Dia bukan sedang menjalankan ”laku” untuk mendalami ilmu tertentu. Jarum itu adalah alat pertolongan pertama. ”Jika terserang stroke, saya atau istri siap bertindak,” katanya. Tapi itu dulu.

Rahman pernah terpengaruh berita yang luas beredar di mailing list mengenai pertolongan pertama pada stroke. Di dalam tulisan yang tak ketahuan asalnya itu dinyatakan, bila terkena serangan stroke, segera tusukkan jarum ke 10 ujung jari tangan. Titik penusukan kira-kira satu sentimeter dari ujung jari. Gunanya agar darah keluar dan penderita serangan stroke segera pulih kembali.

Sepintas, cara ini masuk akal. Sebab, jika orang terkena stroke, terjadi pembekuan darah ke otak. Nah, tusukan itu mengakibatkan reaksi dari pembuluh darah, sehingga kembali lancarlah aliran darah.

Pengertian stroke adalah hilangnya sebagian fungsi otak secara mendadak atau tiba-tiba akibat sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. ”Nah, jika serangan stroke karena pembuluh darah pecah, penusukan justru mempercepat kematian,” kata dokter ahli stroke, Salim Harris. Dengan kata lain: jangan percaya pada saran tak berdasar seperti itu. Risikonya terlalu besar.

Lalu Salim, yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Jakarta, menunjukkan cara penanganan stroke sebelum pasien dibawa ke dokter. Pertama, pasien diletakkan dalam posisi tidur telentang dan diberi bantal hingga kepala membentuk sudut elevasi sekitar 30 derajat. Ini memberikan kesempatan agar aliran darah balik ke arah bawah tubuh. Setelah sekitar 30 menit, baru si pasien dibawa ke rumah sakit.

Justru si penderita jangan didudukkan atau digerakkan bagian tubuh lainnya—seperti saran di milis. Sebab, bila itu dilakukan, si pasien akan makin kekurangan oksigen. ”Karena tiap gerakan membutuhkan oksigen. Sedangkan saat terserang stroke, tubuh sedang kekurangan oksigen,” ujar Salim.

”Jangan diberi minum, termasuk air gula. Walaupun bisa, jangan dibiarkan jalan atau duduk di mobil,” ujarnya. Minuman dikhawatirkan merusak organ tubuh lainnya, dan jika masuk ke paru-paru malah bisa berakibat infeksi. Pokoknya, posisi yang terbaik adalah terbaring dengan bantal di kepala seperti disebut di atas.

Larangan lain adalah memberikan obat-obatan darah tinggi. Menurut Salim, tekanan darah yang ekstrem tinggi ataupun rendah sama bahayanya bagi penderita serangan stroke.

Karena itu, jika pasien terserang stroke, harus dilihat dulu penyebabnya secara keseluruhan. ”Saya saja sebagai dokter harus melihat hasil CT scan untuk mengambil langkah atau terapi yang tepat. Tak bisa dengan cara ditusuk-tusuk jari atau telinganya,” ujarnya. Pemindai (CT scan) merupakan pemeriksaan standar terbaik (baku emas) untuk stroke.

Dalam serangan stroke terkenal istilah ”time is brain” dan ”the golden hour”. Makin cepat pengobatan makin meminimalkan gejala sisa dari stroke. Masa jeda penyelamatan, yang dikenal dengan istilah jendela terapi (therapeutic window) stroke, adalah enam sampai delapan jam setelah serangan. Penanganan dini yang benar setidaknya akan mengurangi angka kecacatan penderita serangan stroke hingga 30 persen.

Memang wajar jika stroke menjadi momok bagi banyak orang. Sebab, stroke bersama penyakit jantung koroner termasuk penyakit kardiovaskuler pembunuh nomor satu di dunia. Diperkirakan setiap tiga menit satu orang meninggal akibat penyakit tersebut. Ganasnya penyakit ini menjadi penyebab utama kecacatan pada orang dewasa.

Pada penderita stroke akan terjadi penurunan kualitas hidup sangat besar. Penderita juga sangat bergantung pada keluarga atau orang di sekitarnya. Kecacatan yang terjadi bisa bersifat permanen sehingga menimbulkan masalah lain yang tidak kalah peliknya. Ahmad Taufik

Sumber : Koran Tempo, 05 November 2008


Cerdas Bergulat Mengelola Stres

TEMPO Interaktif, Jakarta: Hidup bisa penuh stres. Saat cemas menyaksikan jebloknya pasar saham, para komuter yang terjebak kemacetan di jalan, atau para ibu yang dilanda kengerian atas fenomena pembunuhan sadis.

Sebuah studi baru mempelajari bagaimana stres berdampak pada pengambilan keputusan yang biasa dilakukan orang-orang dewasa dibanding orang muda di bawah tekanan stres, terutama dalam situasi yang melibatkan risiko.

"Orang tak pernah mencermati bagaimana dampak stres terhadap pengambilan keputusan. Meskipun begitu, kita sering mengambil keputusan di bawah tekanan," ujar Mara Mather dari USC Davis School of Gerontology, pemimpin dalam penelitian itu, Kamis lalu. "Hanya ada sedikit informasi soal topik ini dan, saat usia Anda bertambah, hal itu kian minim."

Mather dan koleganya, Marissa Gorlick dari USC Emotion and Cognition Lab serta Nicole Kryla-Lighthall, seorang mahasiswa doktoral USC, mengekspos sejumlah orang dewasa (usia 18-33) dan lanjut usia (65-89) dalam suatu situasi stres. Partisipan itu dibelit kantong air es selama tiga menit.

Mereka lalu memainkan game kendaraan seperti situasi kehidupan nyata dengan mengambil sedikit risiko: menerobos lampu kuning. Partisipan mulai bergerak saat lampu menyala hijau dan poin didapat setiap detik bila mengendarai selama lampu kuning menyala, tapi poinnya lenyap jika lampu merah menyala. Durasi waktu nyala lampu kuning dibatasi secara acak.

Mather menjelaskan, dalam penelitian itu, partisipan harus mengambil keputusan yang berisiko--menyetir selama lampu kuning menyala--untuk mendapatkan poin.

"Inilah hidup. Untuk menumpuk uang dalam investasi, Anda harus mengambil risiko. Buat memulai kencan dengan seseorang, Anda harus mengambil risiko mengatakan halo," kata Mather. "Saat ada satu potensi, sebagian waktu Anda harus dibayar dengan sejumlah risiko."

Dari riset dalam kelompok yang terkendali yang tidak mendapat paparan air es, para orang tua lebih baik dalam mengemudi ketimbang orang dewasa muda dengan mencatatkan angka lebih besar dalam simulasi. Perbedaan-perbedaan dalam dampak stres tampak konsisten, bahkan ketika para peneliti memisahkan berdasarkan gender, tingkat pendidikan, mood, dan rating kesehatan.

"Tiap hari para komuter bisa dibelit stres: mulai seseorang yang tiba-tiba 'memotong' jalan hingga kebiasaan menunda-nunda sampai waktu mepet. Apakah Anda lebih suka mencoba dan mengambil risiko jika Anda tidak dalam kondisi stres?" ujar Mather. "Hasil riset kami mengindikasikan bahwa stres telah mengubah strategi orang lanjut usia."

Mather menjelaskan, "Sebagian wilayah otak yang tidak terlibat dan terpicu oleh stres tumpang-tindih dengan bagian otak yang terlibat dalam pembuatan keputusan, terutama keputusan yang berisiko." Sungguh penting menyiasati stres secara cerdas. Psych Central Dwi Arjanto.

Sumber : Koran Tempo, 04 November 2008