Wednesday, November 5, 2008

Bergeraklah Agar Tak Renta

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kalau sedang berada di kolam berisi ikan koi, cobalah cermati penghuninya. Hewan air itu tak berhenti bergerak. Ternyata semakin banyak bergerak, ikan asal Tiongkok itu semakin cepat besar dan panjang umur. Makanya, kerap kali sang empunya merancang kolam sedemikian rupa sehingga aliran air cukup deras dan mampu merangsang Koi untuk terus bergerak. Filosofi ikan koi ini tampaknya bisa dicuplik untuk mengingatkan kita bahwa bergerak itu penting. Bahkan para pakar menyebutkan aktivitas fisik mampu membuat tulang menjadi lebih padat dan tubuh pun kuat.

Ungkapan itu juga sejalan dengan tema "Stand Tall, Speak Out for Your Bones" yang diangkat pada Hari Osteoporosis Dunia 2008 dan diperingati di Indonesia pada 20 Oktober lalu. Bergerak memang berbuah manfaat nyata untuk kesehatan tulang di kemudian hari. "Padahal orang saat ini lebih banyak duduk daripada berjalan," ujar peneliti Universitas Airlangga, Surabaya, Profesor Djoko Roeshadi, MD, Ph.d, FICS.

Pada zaman ini, terutama yang hidup di perkotaan, bergerak memang bukan perkara mudah. Berkat teknologi, orang dimudahkan dengan berbagai sarana. Kemudian gaya hidup supermodern membuat orang terlalu sibuk sehingga tak sempat beraktivitas fisik. Padahal keduanya menjadi faktor utama yang mendatangkan serangan osteoporosis, yang kehadirannya tanpa gejala tapi diam-diam menggerogoti tulang.

Menilik data, di Asia Indonesia merupakan negeri dengan jumlah penderita patah tulang tertinggi. Data itu ditunjukkan oleh Ketua Perhimpunan Osteoporosis Indonesia Prof Dr dr Ichramsjah A. Rachman, SpOG-KFER, saat memaparkan hasil penelitiannya, di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, Selasa lalu. "Hampir 90 persen orang Indonesia tidak mencapai puncak kepadatan massa tulang," ujarnya. Lalu, berdasarkan hasil analisis data dan risiko osteoporosis yang dipublikasikan Departemen Kesehatan Republik Indonesia bersama Fonterra Brands pada 2006, tercatat setiap dua dari lima penduduk Indonesia berisiko terjangkit osteoporosis. Angka itu lebih tinggi daripada prevalensi dunia yang hanya satu dari tiga berisiko keropos tulang.

Profesor Djoko mengungkapkan, serangan osteoporosis tidak pandang usia. "Osteoporosis tidak identik dengan menopause dan masalah umur, tapi dilihat dari rentetan kehidupan yang dijalani," ujarnya. Artinya, pengeroposan tulang lebih terkait dengan pola pikir dan gaya hidup. Makanya, jebolan Universitas Kobe, Jepang, itu menyoroti konsumen Indonesia yang memilih obat dan makanan tinggi sintetis secara berlebihan. Djoko menyebutkan kecenderungan ini berbeda sekali dengan pola makan nenek moyang. Mereka lebih banyak melahap hidangan berbahan alami sehingga hidup lebih sehat. "Orang Minang makan sirih yang mengandung kalsium tinggi. Hingga mereka tetap mampu untuk bertani ke sawah. Orang Surabaya banyak makan daun kemangi yang mengandung estrogen," ia memaparkan.

Selain itu, kehidupan sederhana yang tidak lekat dengan teknologi justru membuat seseorang lebih banyak bergerak. Eskalator, lift, remote control untuk berbagai barang elektronik, serta teknologi yang memudahkan orang berhubungan dengan orang lain juga memicu seseorang untuk malas bergerak. "Padahal tulang butuh improvisasi untuk penyerapan kalsium. Dengan bergerak, proses itu akan berjalan," ujar Djoko.

Di sisi lain, kehidupan modern yang tak lepas dengan benda elektronik pun membuat iklan televisi melekat dalam pikiran. Termasuk produk berlabel "kesehatan", yang membuat orang ketika berusia menginjak separuh baya melirik susu berkalsium tinggi. Padahal asupan kalsium per orang ada takarannya, termasuk ketika usia beranjak tua. "Kalau kalsium berlebih, malah mengakibatkan tulang menjadi getas dan mudah patah," kata Ichramsjah. Standar internasional menggariskan bahwa konsumsi kalsium sebanyak 1.000-1.500 miligram per hari untuk dewasa.

Kalsium memang berperan penting dalam menangkal osteoporosis karena merupakan asupan utama untuk tulang. Namun, menurut dr Agus Parintik Sambo, SpPD-KEMD, pencegahan osteoporosis itu seharusnya dimulai ketika kehamilan, yakni saat janin masih dalam kandungan. "Asupan kalsium yang cukup sejak dini akan membentuk massa tulang dan mengurangi tingkat kehilangan massa tulang ketika usia lanjut," paparnya. Pada usia lanjut, kalsium yang hilang dari tubuh lebih besar daripada kalsium yang diproduksi.

Menurut Ichramsjah, proses pembentukan jaringan tulang baru dan penghancuran tulang terjadi terus-menerus. "Jadi harus ada keseimbangan di tulang, antara pembongkaran dan pembangunan," ucapnya. Proses itu dilakukan oleh dua jenis sel tulang, yakni sel osteoklast, yang menghancurkan jaringan tulang dan melepas kalsium ke darah, dan sel osteoblast, yang membantu pembentukan jaringan tulang baru dengan menambah kalsium. "Pada kasus osteoporosis, sel osteoklast bekerja lebih aktif dibanding sel osteoblast," ia menambahkan. Penderita osteoporosis kehilangan sekitar 500 miligram kalsium per hari.

Bila ingin terhindar dari pengeroposan tulang, Djoko berpesan agar ketika muda gencarlah menabung kalsium. Paling tidak, rumusan trias darinya dijalankan, yakni olahraga (yang menopang berat tubuh), nutrisi cukup (kadar kalsium), dan hilangkan kebiasaan buruk (merokok, minum minuman beralkohol, dan kopi). "Sehingga pada sekitar usia 35 tahun tulang mencapai kepadatan yang maksimal," katanya.

Sumber :Tempo, 06 November 2008