Thursday, August 27, 2009

Kampung Pengemis

Kekhasan budaya berbingkai nilai-nilai agama yang sudah disandang masyarakat Madura secara umum terkadang menampakkan kenyataan hidup yang ironi.

Pekerja keras dan tanpa menyerah dalam kondisi apapun dan di manapun sudah bukan rahasia lagi. Namun berbeda dengan kenyataan yang disandang warga Desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Sumenep.

Desa yang terletak 45 Km dari kota ke arah barat itu berpenduduk 3.500 kepala keluarga (KK) atau 9.567 jiwa. Dari jumlah penduduk yang ada itu, 80 persen menjadi pengemis (peminta-minta).

Tak ayal, jika desa itu mendapat julukan kampung pengemis dan menjadi pusat perhatian para peneliti, akademisi dan media massa meski tidak semudah yang dibayangkan untuk masuk ke desa tersebut.

Setiap orang yang masuk perkampungan pengemis itu tidak akan percaya bila warganya menjadi pengemis. Selain tidak ada rumah gedek (Rumah anyaman bambu), kendaraan sepeda motor juga ramai terlihat lalu lalang.

Meski rumah warga satu dengan yang lain berjarak antara 10 meter hingga 20 meter, namun terlihat rumah berukuran besar dan kokoh dilengkapi antena parabola, lantai keramik lengkap dengan berbagai macam hiasan sudah bukan barang langka dan asing lagi.

Akses jalan desa yang menjadi penghubung dengan desa tetangga juga beraspal, kecuali jalan penghubung kampung di desa itu yang masih jalan makadam dan sulit dijangkau dengan mobil mewah.

Untuk ukuran desa di Sumenep, kondisi Desa Pragaan Daya sudah maju. Program pemerintah sudah masuk dan aktivitas masyarakat seperti layaknya warga desa tetangga.

Satu dari penduduk desa pengemis, Ny Halimah (46) yang kesehariannya menjadi peminta-minta di Kota Sumenep sudah memiliki 4 ekor sapi. Dia memiliki rumah yang selesai dibangun 3 tahun silam lengkap dengan perabotan mewah.

Meski sudah tergolong kelas ekonomi menengah untuk ukuran desa, namun Ny Halimah mengaku tidak bisa meninggalkan profesinya sebagai penerima sedekah dari orang lain yang sudah turun temurun dilakukan.

Banyak alasan yang dikemukakan. Selain tidak memiliki lahan pertanian yang cukup hingga tidak mempunyai skill yang bisa menghasilkan menutupi kebutuhan hidupnya.

"Saya tidak mempunyai pekerjaan lagi, kecuali menerima sedekah dari orang lain. Dan ini pekerjaan yang telah turun-temurun dan tidak mungkin ditinggalkan," kata Halimah kepada detiksurabaya.com di rumahnya, Kamis (20/8/2009).

Dalam pandangannya, uang hasil meminta-minta itu adalah rezeki halal karena uang itu diberikan oleh si empunya secara ikhlas.

"Kalau tidak ikhlas tidak mungkin diberikan pada saya. Jadi, pemberian orang itu adalah sedekah yang tidak ada salahnya bila diterima," ujarnya.

Menurut dia, warga Desa Pragaan Daya yang meminta-minta tidak hanya dilakukan di wilayah Madura, mereka yang masih sehat dan mempunyai kemampuan untuk datang ke daerah lain, biasanya banyak mengemis di Jawa Barat, Bandung, Jakarta dan DKI.

Bahkan, ada yang merantau hingga Kalimantan dan Malaysia. Namun bagi yang sudah tua, daerah yang biasa didatangi hanya Kota Surabaya dan kota lain di Jawa Timur.

Tidak sedikit bagi mereka yang mengemis di luar Madura mempunyai kemampuan lebih. Bahkan, ada yang menyandang predikat haji atau telah mampu melaksanakan rukun Islam yang kelima dari hasil mengemis.

"Kalau sudah jadi pak haji baru berhenti, tinggal anak-anaknya yang melanjutkan pekerjaan menerima sedekah itu," katanya seraya menolak menyebutkan identitas orang yang dimaksud.

Sementara Sekretaris Desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Sumenep, Moh Haruji Saleh mengaku tidak risau dengan predikat desa pengemis. "Ini sudah bagian dari kehidupan warga kami sehingga harus menyandang predikat kampung pengemis. Ya tidak apa-apa," ujar Haruji kepada detiksurabaya.com di rumahnya.

Dia mengaku sudah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan kebiasaan meminta-minta namun menemui kesulitan. Selain mereka tidak mempunyai pekerjaan lain, juga ada sebagian yang memang tidak mempunyai lahan pertanian.

"Usaha yang bisa dilakukan hanya dengan memutus mata rantai menjadi pengemis. Para kawula mudanya jangan sampai ikut mewarisi profesi orang tuanya itu," terangnya.

Para kawula muda, kata dia, pendidikannya sudah banyak yang masuk perguruan tinggi. Bahkan, ada yang masuk di fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi di Jember. Meski diakui jika biaya untuk menyekolahkan itu dari hasil mengemis, bukan berarti harus menjalankan profesi orang tuanya.

Sumber : http://surabaya.detik.com/read/2009/08/20/093418/1186136/475/dikenal-desa-pengemis-warga-mampu-sekolahkan-anak-ke-kedokteran